Perpisahan
Aku mulai tersadar,
dan telah terbangun dari perjalanan indah mimpi semuku bersama gadis pujaanku. Aku telah membuka mata setelah sekian lama terpejam
menikmati malam indahku, berkelana menanti senja kala siang bangunkanku. Gadis tempat kumenggantung asa telah lama pergi. Ia tak pernah kembali usai pernikahan singkat lalu. Meski mentari
senja masih tak jemu melakukan rutinitas menikah-ceraikan siklus waktu :
siang-malam. Yah, gadis itu tak pernah kembali lagi mengiringi mentari senja.
Ia pergi seiring tenggelamnya mentari di ufuk pada hari itu. Entah untuk
mencari dan menemukan galaksi baru, dengan bintang barunya yang mungkin
sinarnya jauh lebih terang dibanding dengan sinar bintang satu-satunya di
galaksi Bimasakti : Matahari. Entah, mungkin di sana ia juga akan menemui
pemuda lain untuk diberi penawaran yang membingunkan, untuk memilih siang atau
malam saat kita berada di antara keduanya.
Aku masih mengenang senja. Air mata
perpisahan gadis pujaan hati telah mengkristal. Membentuk butiran permata
berkilau yang tak terkalahkan sinarnya oleh permata terindah yang pernah
diketemukan di plenet ini sekalipun. Namun, seperti halnya perhiasan apapun –
tetaplah perhiasan, ia hanya berbicara melalui nostalgia ingatan penglihatnya.
Gadis itu hanya meninggalkan sejarah yang mungkin bisa kumeseumkan. Air matanya
mengkristal, bagaimanapun – tetaplah benda perhiasan, gadis senja tak pernah
kembali.
Di sini, di galaksi ini, aku telah
terbangun di pagi hari. Aku menyadari kedatangan bintang satu-satunya galaksi
tempatku berada kini : Matahari. Di momen ini, teringat bagaimana gadis itu
membayangkan satu bintang, membuat miniatur bintang imajinernya. Teringat pula
saat ia menawarkanku untuk memilih siang ataukan malam, namun tak kupilih
keduanya. Dan gadis itu berlalu pergi meninggalkan air mata yang telah
mengkristal, kini. Yah, ia telah pindah ke galaksi lain mencari dan menemukan
bintang barunya. Kurasa, air mata kristalnya ini juga berguna untuk memberikan
sinyal melalui pancaran cahaya sehingga aku masih tetap bisa berkomunikasi
dengannya, pun hanya sekedip. Tanpa tatap muka, di ruang hampa. Mungkin,
seperti saat kau menyalakan senter di tengah laut saat helikopter penyelamat
melintas di atasmu, dan ia tak melihatmu – ternyata.
Aku melanjutkan hidup di galaksi
ini, bersama keceriaan sinar mentari pagi yang mengirimkan energi
quark-quarknya untuk menggairahkan bunga-bunga di tamanku. Di sini, di galaksi
ini, aku telah tersadar, bahwa aku tak lagi berada dalam senja yang merumitkan
itu. aku tak lagi dibingungkan dengan siang atau malam. Usai perpisahan itu,
aku sadari bahwa aku telah melewati malam panjangku bersama mimpi-mimpi dan
kini telah kusambut pagi dengan sinar mentari yang menghangatkanku. Ku sapa
bunga-bunga yang menari riang menyambut pasukan sinar. Satu bunga terlihat amat
berbeda dari kebanyakannya, aku memetiknya. Namun, betapa kagetnya aku, tiba-tiba
ia terbang seperti kupu-kupu, lalu berputar-putar di atas kepalaku. “Bolehkah aku hinggap
disini, di bahumu ini?” tanyanya. Aku masih kebingungan, tapi mulutku
dengan spontan langsung saja berucap : “yah, silahkan jika
itu membuatmu gembira” jawabku sekenanya. Ia secepat kilat meluncur
lalu hinggap dan tertawa riang sekali. “Terima kasih banyak
wahai kesatria, sekarang bawalah aku kemanapun kau mau. Aku ingin bersamamu
selalu”. Aku masih tak percaya dengan apa yang terjadi ini. Dia bunga
teraneh yang pernah kutemui, ini di luar kebiasaan. Aku juga masih tak percaya
dengan apa yang aku lakukan. Aku memetik bunga, dan bunganya terbang
berputar-putar di atas kepalaku. Lalu seperti seorang putri yang baru saja
dibebaskan pangeran pemberani dari penjara ratu sihir, bunga itu lantas hinggap
di bahuku, mungkin sebagai tanda terima kasih. Bunga yang aneh, perpaduan
kaktus di tanah tandus, dan teratai di air, sungguh aneh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar